A Love That Lost [Chapter 1]

Ketika ribuan bahkan jutaan butir embun masih berjuang menyejukkan hari yang terlalu dini. Fajar masih tampak malu untuk menyinari bumi. Dingin pun terasa begitu pekat, seolah menuntut masuk melewati pori-pori kecil kulit hingga menusuk tulang, sekaligus mendesak rongga dada dengan udara dingin yang terhirup.

Di saat-saat seperti itu aku selalu menguntitnya, satu-satunya faktor penyemangat untuk aku bangun lebih awal.

Bukan, aku bukan tipe orang yang terobsesi dengan adanya cinta pada pandang pertama. Sama sekali bukan! Aku hanya... Entahlah, aku hanya merasa tak asing dengan wajahnya, dengan suaranya, dengan perangainya, dengan segala yang ada pada dirinya. Namun aku tak dapat menemukan jawaban atas rasa penasaranku. Siapa dia?

***

Penguntitan ini pun bukan tak beralasan. Aku ingat, tatkala itu aku harus datang kesekolah pagi-pagi sekali karena ada kegiatan olahraga yang memang menggunakan lapangan bergantian dengan murid kelas X. Dengan alasan yang mengharuskan kakak kelas mengalah pada adik kelas, akhirnya kami terpaksa menggunakan jam pagi untuk berolahraga.

Dan dia datang, secara tiba-tiba, ketika aku tengah ketakutan karena dua orang anak laki-laki dengan seragam yang berantakan, menodongku sebuah pisau lipat, sambil terus mencekal tanganku, memaksaku memberikan sejumlah uang pada mereka.

Dia segera memukul dua anak itu bergantian dibagian tengkuknya, atau apa? Entahlah. Yang jelas ia tak membuat mereka berdua pingsan, apalagi sampai menerbangkan nyawa. Dia hanya membuat mereka tak berdaya, tak berkutik, hingga tak mampu melawan. Aku bahkan masih mendengar mereka meraung kesakitan sambil memaki kecil.

“Anjrit lo Rio! Lo liat pembalasan kita.” Salah satu dari mereka bergumam, namun masih bisa ku tangkap dengan indra pendengarku.

“Makasih... Rio.” Hanya itu, hanya kata-kata itu yang mampu aku dedikasikan untuknya, untuk jasanya.

Sejurus kemudian ia tampak linglung. Lalu tersenyum tulus. “Sa, sama-sama I, fy.” Ujarnya.

Tiba-tiba sebuah benda berwarna oranye berhenti, tepat didepan kami berdiri.

“Sekali lagi, makasih ya Rio. Aku duluan ya.” Aku tersenyum, yang aku harap tak terlihat aneh.

“I, iya Fy.” Seperti tadi, dia tampak linglung, dengan ucapannya yang terpotong-potong. Mungkin ia hanya terkena sindrom ketenaran Aziz Gagap, pikirku.

Lalu aku segera berlari masuk kedalam bus itu. Menyeruak, dan berusaha mencari tempat yang pas untukku.

Aku kembali mengingat-ingat orang tadi. Rio. Nama yang simpel. Lalu segurat senyum manisnya tergambar jelas di batinku. Ahh, anak itu lumayan, ehmm... tampan. Kemudian kata-kata yang keluar dari mulutnya terngiang di benakku. Seolah terrekam dengan sendirinya.

“I, iya Fy.”

Hei, tunggu dulu, dia tadi memanggilku apa? Fy? Dari mana dia tau nama panggilan itu? Kalaupun ia melihat tag name ku, pasti dia akan memanggilku Alyssa. Bukan Ify. Lalu?

***

Aku terlambat! Sehari setelah peristiwa itu terjadi, aku malah mendapatkan kesialan seperti ini. Aku terus merutuk kesal, ingin memutar kembali waktu ke saat sebelum aku menghempaskan tubuhku kekasur empuk ini. Saat aku sangat kelelahan setelah mengerjakan setumpuk tugas dari tentor Fisika yang menurutku sangat, tak berperikemanusiaan, sehingga aku tak ingat untuk mengatur beker unguku.

Aku segera berlari keluar rumah, setelah berpamitan dengan orang tuaku, tentu saja. Sejurus saja, aku telah berada diluar pekarangan rumah yang dibatasi dengan pagar tinggi hingga aku dapat melihat jalan perumahan yang kini sepi. Mungkin orang-orang telah terjebak macet diluar sana.

Ku edarkan pandanganku, mencari, kalau-kalau ada jasa ojek atau Taxi yang lewat. Namun, nihil. Aku mendesah. Masa’ aku harus berlari ke halte dan menunggu angkutan umum disana? Aku pasti akan lebih terlambat lagi! Kulirik jam tangan ungu yang melingkar dipergelanganku, jam 6.40. Ahh, bagaimana aku bisa sampai tepat waktu?

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan sebuah suara asing ditelingaku.

“Fy, fy, berangkat bareng aku yuk.” Aku menoleh, tampak Rio mencondongkan tubuhnya kearahku, agar aku bisa mendengar ajakannya yang berwujud bisikan itu. Berulang kali, ia tampak waspada, melihat ke balik pagar rumahku.

“Kamu nyari apa? Aku kan disini.” Ujarku sembari mencari sesuatu yang menjadi fokusnya dibalik pagar rumahku.

Ia lalu menarik tanganku agak menjauh dari tempat ku berdiri tadi.

“Berangkat bareng aku yaaa. Aku anterin.” Pintanya penuh harap. Aku mengernyit heran.

“Naik apa?” tanyaku. Masa dia mau nganterin aku, tapi dianya sendiri jalan kaki. Enggak guna dong. “Jalan kaki?” sambungku.

“Ya enggak dong. Tunggu bentar ya.” Ujarnya, yang langsung berlari kearah taman. Lalu sampai didepanku dengan sebuah motor automatic berwarna putih.

“Ayokk.” Ajaknya. Aku mendesah pelan.

“Tapi kan, nanti kamu jadi telat.” Ucapku.

“Nggak apa, sekolah aku masuknya jam setengah 8 kok. Udah, ayo naik.” Suruhnya.

“Tapi jangan lewat didepan rumahku ya. Orang tuaku...” belum aku menyelesaikan kalimat itu, dia menyela.

“Aku masih inget kok, kamu nggak dibolehin naik motor dengan orang lain, selain kak Cakka.” Aku mengernyit heran. Darimana dia tau? Tapi toh, aku tetap naik ke jok belakang sambil menggenggam erat besi penyangga jok. Tak mungkin kan aku memeluknya?

Dia memutar arah motornya, lalu segera melaju membelah jalanan ibukota.

***

Aku tersentak kaget ketika melihat Rio telah ada didepan gerbang sekolahku, sambil tersenyum kearah... Aku? Ia juga melambaikan tangannya. Seolah memanggilku.

Sejak 1 bulan yang lalu saat pertemuan kami di halte itu, aku dan Rio memang menjadi dekat, tanpa alasan khusus. Aku dan dia hanya berteman. Ya, hanya teman, tidak lebih.

“Aku duluan ya.” Sahutku pada Shilla dan Sivia yang kini membuatku ada ditengah-tengah mereka.

“Oke. Good luck ya sayang.” Jawab Shilla sambil menempelkan tangan kebibirnya lalu mengarahkannya padaku.

“Jangan di panggil sayang lagi Shill. Ntar gebetannya marah tuh.” Ucap Sivia sembari menunjuk Rio dengan bibirnya yang dimajukan. Shilla dan Sivia lalu tertawa sambil ber-high five ria.

“Ih apaan sih, nggak lucu tau nggak.” Ujarku kesal.

“Iya, iya. Udah sono, ntar dianya malah cemburu sama kita.” Ledek Sivia. Aku hanya menjulurkan lidahku pada mereka. Lalu berjalan kearah Rio.

“Kenapa Yo?”

“Pulang bareng yuk.” Ajaknya. “Jalan dulu tapi. Mau yaa?” pintanya lagi.

“Oke deh, tapi jangan lama-lama ya. Aku ada bimbel jam 5 nanti.” Sahutku.

“Oke. Ayo naik.”

***

Dan akhirnya, aku menghabiskan setengah hari itu bersamanya. Bersama gelak-tawanya, bersama perangainya, bersama suara lembutnya. Tanpa ku ketahui, bahwa hari itu, adalah hari terakhir aku bersamanya, setidaknya hingga saat ini.

***

“Kamu pesan apa Fy?” tanyanya.

“Lasagna aja deh. Sama Ice Cappuccino ya yo.” Rio hanya mengangguk mengerti, lalu memanggil seorang waitres berseragam batik biru, khas Resto ini.

Seusai memesan, Rio menatapku aneh.

“Kamu makin cantik, tau nggak Fy?”

“Gombal!” ketusku.

“Beneran kok. Suer.” Sahut Rio.

“Yaudahlah, aku tau kok aku cantik. Tapi nggak usah pake ngegombal gitu dong, geli tau!” jawabku masih dengan nada ketus.

“Hehe, canda Py.”

Setelah pesanan datang, Rio langsung menyantap makanannya dengan lahap. Seolah ia telah menjalani puasa selama 9 bulan 10 hati tanpa berbuka.

“Ingat nggak Fy, waktu pertama kali aku ngajak kamu kesini, waktu kita masih sama-sama dulu...” Rio tampak menerawang, sembari tersenyum... perih.

“Maksudnya?” tanyaku heran. Sumpah, aku tak mengerti apa yang ia bicarakan.

“Wak-waktu itu Fy. Waktu aku pertama kalinya berani ngajakin kamu makan keluar, waktu aku... nekat bawa kamu pake motor.”

“Bukannya ini pertama kalinya kamu ngajak aku kesini?”

Rio tampak mengernyit heran.

“Ify, kamu nggak ingat?” ia menyahut lesu.

“Oh iya!” aku menepuk dahiku pelan.
“Aku pernah kecelakaan, kata mama aku lupa ingatan. Kita pernah kenal sebelumnya ya? Maaf ya, aku bener-bener lupa. Gimana kalo kamu jelasin kedekatan kita dulunya?”

Rio tampak terkejut. Lalu dia bergeming, sama sekali tak bergerak, apalagi bersuara. Seolah seluruh organ geraknya terkunci. Apa ada yang salah?

“Habisin aja makanannya Fy. Aku antar kamu pulang.”

“Aku udah kenyang. Kamu kenapa? Marah? Maaf ya, aku nggak tau seberapa dekatnya kita dulu, tapi aku bener-bener nggak bisa ingat apa-apa Yo. Maaf...”

“Nggak apa. Ayo, aku antar kamu pulang, udah jam 3, kamu harus bimbel.” Sahutnya datar, masih dengan tatapannya yang tampak sangat menyedihkan. Ada apa dengan kami, dulu?

***

Dan setelah itu, ia menghilang, sirna, tanpa jejak. Aku belum sempat mengenal teman-temannya. Aku belum pernah mendatangi rumahnya. Satu-satunya sumber yang bisa aku jadikan penunjuk untuk menemukannya dan meminta penjelasannya, ternyata telah lenyap. Dia telah me-nonaktifkan nomor ponselnya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Akhirnya, aku memilih untuk bangun setiap pagi lebih awal, berharap bisa menemukannya lewat didepan halte. Berusaha menguntit Rio yang tiba-tiba datang, lalu tiba-tiba hilang. Tapi, nihil. Aku tak berhasil, aku gagal.

***

Hingga suatu hari, ketika aku mulai pasrah akan keadaan, putus asa karena tak kunjung mendapatkan jalan keluar. Aku bertemu seseorang, yang bersedia membantuku, mengungkit masa laluku.

Saat ini, aku sedang hang-out bersama Shilla, Sivia, dan Acha.

“Ify!?”

“Maaf, siapa ya?”

“Aku Gabriel! Temen kamu waktu di Bandung dulu!”

“Oh, maaf. Aku pernah lupa ingatan. Gimana kalo kita mulai lagi dari awal?” tanyaku sembari menjulurkan tanganku padanya. Sama seperti Rio, ia tampak terkejut. Namun kemudian tersenyum.

“Aku Gabriel, sahabat kamu, dan Rio.” Hampir saja aku terlonjak kaget.

“Kamu kenal Rio? Dimana dia sekarang?” Dia hanya tersenyum.

“Maaf, kalian bisa tinggalin kita? We must talk seriosly, ‘bout her history. Mungkin besok-besok Ify bakal cerita sama kalian.” Pinta Gabriel pada Sivia, Shilla dan Acha.

“Oke, kita ngerti kok. Kita duluan ya Fy.” Sahut Sivia sembari tersenyum.

“Kamu udah bisa mulai cerita.”

“Yakin sambil berdiri gini? Disini?” aku hanya tergelak mendengar ucapan Gabriel.

“Yaudah, ayokk.” Ajakku menarik tangannya menuju sebuah kedai Ice Cream.

“Jadi gimana?” tanyaku tak sabar, ketika kami sudah duduk berhadapan dengan pesanan kami masing-masing.

“Kamu, sama Rio pernah menjadi sepasang kekasih.” Aku tersedak, tak percaya. Jadi? Aku dan Rio?





*Krik krik krik*
Ini apa? Oke, saya juga nggak tau ._. Saya cuma pingin nulis. Tapi kok jadinya malah aneh gini sih? -3-
Saya sadar kok kalo ini aneh banget. Dan apa? Dijudulnya ada pake Chapter-chapter gitu? Berarti ini ada lanjutannya dong? Emang iya ._. Tapi kalo nggak ada yang mau baca nggak apa kok, mungkin lebih baik jadi konsumsi pribadi(?) Jadi mungkin nggak ada Chapter 2, 3 dan Chapter-chapter selanjutnya.

Ini kaya’ nya jadi kelinci percobaan aja ya? Kalo peminat banyak, ya mungkin dilanjut. Kalo enggak, yo wess, ra po po *.*



Sincerely,

@ridyadara

1 komentar:

Tiqa mengatakan...

Nggak sengaja nemu blog keren ini. Lanjutin dong ceritanya. Penasaran nih. Itu cerita nyata?

Posting Komentar


up